OFFICIAL :
Twitter :
Nita, 60 tahun, harus menghidupi lima orang anaknya, setelah sang
suami meninggal dunia pada tahun 2003. Karena keterbatasan ketrampilan
dan pendidikan, ia akhirnya hanya bisa bekerja sebagai buruh cuci dan
asisten rumah tangga di Tangerang, Banten. Ada dua prioritas dalam
hidupnya: memenuhi kebutuhan sembako keluarga dan menyekolahkan
anak-anaknya. Untuk itu tak jarang ia harus berutang demi memenuhi
kebutuhan. Tercatat sebagai salah satu penerima Bantuan Langsung Tunai
(BLT), Nita mengaku BLT bukanlah jawaban untuk dirinya, karena jumlah
BLT yang tak sepadan dibanding harga kebutuhan sehari-hari.
Lain Nita, lain pula Amin Jalalen, seorang petani penggarap tanah
milik negara yang berdomisili di Indramayu, Jawa Barat. Sudah beberapa
tahun belakangan ini ia terpaksa memberanikan diri menggarap tanah milik
negara untuk menyambung hidup. Tapi Amin tak menggarap lahan milik
negara dengan cuma-cuma. Ia harus membayar sewa tanah. Suatu aturan
yang terus ia pertanyakan, karena menurutnya sistem sewa tanah tak
sesuai dengan Undang-undang Dasar yang mengamanatkan kekayaan alam harus
sebesar-besarnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
Sementara itu di Jakarta, Suparno dan Sutara punya masalahnya
sendiri. Bekerja serabutan sebagai buruh bangunan dan tukang ojek,
Suparno dan Sutara harus tinggal di rumah yang jauh dari layak. Mereka
menghuni kawasan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, dengan total
populasi 49.150,17 Jiwa/Km2. Suparno dan Sutara hanya mampu mendiami
rumah dengan ukuran 6,65 meter persegi. Cukup tak cukup, dengan rumah
seluas itu, Sutara harus berbagi ruang dengan 5 orang anak dan
istrinya. Karena keterbatasan lahan, tak ada kamar mandi atau WC di
rumah mereka. Hanya tersedia satu bangunan MCK umum di sana. Hidup
serba terbatas, mandi dan berkemih di depan rumah sudah menjadi sesuatu
yang biasa dan normal bagi warga Tanah Tinggi. Situasi semakin pelik
ketika satu-satunya MCK umum di wilayah itu terancam digusur.
Keempat tokoh ini akhirnya bertemu di ajang pemilu legislatif dan
pemilu presiden. Mereka dipertemukan melalui kesamaan status sebagai
voter, atau pemilih. Sebagai pemilih, mereka membawa harapan ke bilik
suara. Mereka mempercayakan masa depan melalui hak pilih yang mereka
miliki, dengan harapan anggota dewan dan presiden yang ketujuh yang
dipilihnya bisa membawa perubahan.
Cerita keempat tokoh ini dibingkai oleh gambar perjalanan proses
pemilu di Indonesia 2014, mulai dari kampanye partai menjelang pemilu
legislatif, sampai hingar-bingar gelaran pemilu presiden yang akhirnya
dimenangkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Dikerjakan oleh 19 videografer, film ini mengikuti keseharian para
tokoh jauh-jauh hari sebelum gelaran Pemilu. Lantas siapa presiden
pilihan Nita, Amin Jalalen, Suparno, dan Sutara? Apa harapan dan pesan
dari mereka untuk Presiden Yang Ketujuh Indonesia?
0 Response to "Yang Ketu7uh, Film Dokumenter ‘Pertempuran’ Jokowi Vs Prabowo | 25 September 2014"
Posting Komentar